What world am I living now?
Malam kali ini begitu berbeda dari malam-malam
sebelumnya. Biasanya, malamku hanya ada
sepi yang mendendang syahdu. Namun, kali
ini berbeda. Terdengar bising dari segala penjuru. Kebisingan dengan nada-nada tak
jelas. Di sudut tatapanku, begitu banyak
kerumunan orang yang lalu lalang, asyik melakukan
kegiatan masing-masing. Sementara aku, lagi-lagi merasa kesunyian di tengah
keramaian. Seperti biasa, rutinitasku di tengah keramaian hanyalah
memperhatikan orang-orang. Memperhatikan mimik wajah, tingkah laku dan segala sesuatu yang dapat
aku amati tanpa merasa teramati. Dari kegiatan mengamati, aku mulai menafsirkan
banyak hal. Misalnya saja, menafsirkan tabiat asli orang-orang itu dari
tampilan fisik dan cahaya mata mereka. Entah benar atau salah. Kegiatan yang muaranya
hanya menambah kebiasaanku su'uzan kepada orang lain. Memangnya siapa aku,
beraninya menafsirkan sifat asli seseorang hanya dengan sekali tatap. Tapi
begitulah adanya, layaknya kereta api yang terus melaju menuju tujuannya tanpa
memperhatikan riak sekitar. Kebiasaanku itu berjalan begitu saja.
Oke biar kujelaskan lebih detail dulu
mengenai keadaan sekitarku saat ini. Aku sedang berada di tengah pesta
perkawinan. Suara bising yang kusebutkan sebelumnya bersumber dari teriakan
peserta pesta, biduan dan alat musiknya.
Di sini tidak ada walimah yang sebagaimana dicontohkan nabi. Ikhtilaf antara
laki-laki dan perempuan tidak terhindarkan. Hal ini di dorong oleh tradisi
keluarga yang memang agak jauh dari tuntunan islam. Ada satu hal yang membuat
hatiku sangat miris. Di luar gelandang pesta,
tepatnya di panggung biduan, sedang didendangkan lagu yang tidak jelas
liriknya, musiknya seperti dangdut bertabuh
dengan aliran rock.
Sebenarnya bukan itu yang membuatku merasa sangat miris, melainkan
biduanita yang sedang mendendangkannya. Di atas panggung mereka melakukan
perbuatan yang sama sekali keluar dari tuntunan islam. Seorang wanita
dilengkapi dengan sebuah mahkota yang disebut malu. Tapi dari pengamatanku, mereka
tak mengenakan mahkota itu. Sangat miris ketika mereka mengenakan pakaian ketat
dengan kain yang belum lengkap jahitannya, ditambah dengan gerakan erotis
mereka yang kemudian menjadi komsumsi ratusan pasang mata, laki laki dan perempuan. Tak perlu
kugambarkan detailnya seperti apa, cukup
tahu saja bahwa mereka telah meletakkan mahkota malu mereka untuk alasan yang tidak
kuketahui. Aku tidak tahu jelas mereka
melakukannya dengan alasan apa, entah
terpaksa atau suka rela. Aku hanya
merasa miris dengan jalan yang mereka pilih untuk mengahadapi kehidupan ini.
Parahnya, hal ini seakan adalah
sesuatu yang sangat lazim dilakukan. Ketika banyak orang menjadikannya sebagai
pusat tontonan dengan santai, tanpa merasa itu adalah sesuatu yang tak pantas.
Mereka bahkan tertawa dan merasa terhibur. Mereka meletakkan para biduanita itu
sebagai objek pemuas dan hal itulah yang mengundang kekesalanku. Semua itu
seakan sesuatu yang normal. Sementara orang-orang yang tidak menyukainya justru
dianggap tidak normal.
Di dunia seperti apa aku hidup saat ini? Dunia yang tatanan kenormalannya adalah berdasarkan pendapat mayoritas, meskipun itu adalah sesuatu yang salah. Batas antara kebenaran dan ketidak normalan menjadi sesuatu yang tabuh.
Aku tak lantas menyalahkan mereka, karena sudah jelas tabiat mereka terbentuk dari kumpulan kumpulan masa lalu yang bisa jadi tak mereka kehendaki. Tapi, bukankah kita punya pilihan? aku tak menuntut pula bahwa mereka harus menjadi baik, karena memang dunia ini diisi dengan keragaman. Tapi sebagai mahluk yang dilengkapi akal, aku rasa aku bisa menyuarakannya lewat tulisan dan saling mengingatkan satu sama lain. Semoga saja ini bekerja.
Mahkota 'Malu' Wanita - Terjual atau dijual?
Apa sih malu itu? Imam Nawawi dalam Riyadush Shalihin menulis bahwa para ulama pernah berkata "Hakikat dari malu adalah ahlak yang muncul dari diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan terhadap orang lain."
Ada tiga jenis sifat malu, yaitu:
Pertama, malu yang bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat
melihat gambar seronok, atau wajah yang memerah karena malu mendengar ucapan
jorok. Kedua, malu yang bersumber dari iman. Misalnya, seorang muslim
menghindari berbuat maksiat karena malu atas muraqabatullah (pantauan Allah). Ketiga,
malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap tidak malu
seperti telanjang di hadapan orang banyak.
Bahkan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjadikan
sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu Hurairah r.a. berkata
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iman memiliki 70 atau 60 cabang. Paling utama
adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.”
(HR. Muslim dalam Kitab Iman, hadits nomor 51)
Tentang kesejajaran sifat malu dan iman dipertegas lagi oleh Rasulullah
saw., “Malu dan iman keduanya sejajar bersama. Ketika salah satu dari keduanya
diangkat, maka yang lain pun terangkat.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar. Menurut
Hakim, hadits ini shahih dengan dua syarat-syarat Bukhari dan Muslim dalam
Syu’ban Iman. As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shagir menilai hadits ini lemah.)
Seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam dirinya
hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita
bayangkan jika dari mulut seorang muslimah meluncur kata-kata kotor lagi kasar.
Bertingkah dengan penampilan seronok dan bermuka tebal. Sabda Rasulullah, “Malu
adalah bagian dari iman” (HR.
Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1932)
Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat
malu. Dari mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat
malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu akan
muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul bahwa Allah itu Maha
Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari
Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat yang terbersit dalam hati
kita, semua diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Malu adalah mahkota tertinggi wanita. Meletakkan rasa malu menjadikan wanita meletakkan segala kehormatannya. Jangan menjualnya untuk harga yang murah, karena kau indah dengan sifat malumu. Be a smart girl !
Sumber:
http://sriafrianty.files.wordpress.com/2013/05/
0 komentar:
Posting Komentar