Ada sebuah kebiasaan pagi hari
yang hampir tak pernah kutinggalkan. Menatap langit sambil menantikan cahaya
hangat dari ufuk timur. Yah, cahaya jingga dari sang mentari yang mulai
merayapi bumi. Tak pernah bosan kulakukan hal yang sama di pagi hari dan
menjadikan ini sebagai ‘Me time’. Waktu di mana tak ada kegiatan lain selain
takzim menatap alam terbuka, menatap langit dengan awannya, menatap pegunungan
dari kejauhan, dan pepohonan di kaki langit,
just for a while. Merasakan harmoni alam semesta yang bergerak dalam
keheningan. Menikmati ringkih embun yang mengalir di dedaunan dan meresapi riak
burung-burung yang seakan menyambut pagi dengan kata “Selamat pagi dunia” dan
kukatakan pula dalam hati “Selamat pagi dunia, ternyata aku masih ada!”
Salah satu ciptaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang tidak terbantahkan adalah penciptaan alam semesta.
Albert Einstein pun sepakat dengan hal tersebut dengan mengatakan “Tuhan tidak
bermain dadu dengan penciptaan semesta”. Sang Maha Pencipta yang mencipta
segala sesuatu termasuk alam ini dengan segala kesempurnaannya.
“Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan tuhan
yang maha pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?”
(QS. Al-Mulk : 03)
Yah, alam semesta ini diciptakan
tanpa cacat. Setiap bagiannya memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing,
termasuk matahari dan bumi yang beredar pada orbitnya masing-masing. Peredaran
antara matahari dan bumi yang menjadikan adanya siang dan malam. Siang dan
malam yang menyebabkan adanya hangat fajar dan senja. Antar fajar dan senja,
manakah yang akan kalian pilih? Di atas sudah penulis kisahkan sedikit tentang
kebiasaan pagi saat menikmati ‘Me time’ bersama alam dengan menyinggung tentang
fajar. Hangatnya memang sangat menyenangkan, bias cahayanya selalu saja
menyilaukan hati dan berhasil menyediakan sebongkah semangat di pagi hari,
namun tahukah? Ada bagian lain dari hari yang tak akan kalah dengan fajar yakni
senja.
Senja, sebuah momen puitis yang
seringkali dikisahkan penyair-penyair, tentang keindahannya dan tentang
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya yang menyikut banyak perhatian
untuk takzim menatapnya. Senja, epilog dari siang yang juga memberikan hangat
yang sama seperti fajar. Senja juga yang mulai menghamparkan permadani malam.
Fajar dan senja. Dua bagian hari
yang membuka sekaligus menjadi penutup siang dan bagian dari pergantian hari.
Keduanya sama-sama memiliki cahaya jingga yang hangat. Salah satunya menjadi
pembuka siang, dan lainnya menjadi penutup.
Keduanya menyediakan pelajaran bagi kita. Fajar datang dengan hangatnya,
dengan kilau jingganya, memberikan pembeda dari gelapnya malam menuju terangnya
siang. Malam telah berlalu dan fajar memberikan isyarat bahwa bumi kembali memulai
perputarannya, membuka hari yang baru, dengan harapan baru. Fajar yang juga dikisahkan
dalam surah Ad-Dhuha.
Maukah kuberitahu makna kata
“dhuha”? Surah Dhuha diwahyukan ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
tidak menerima wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala selama 6 bulan. Rasulullah
berpikir bahwa Allah membencinya. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam dirinya.
Bukankah begitu? Terkadang kita berpikir seperti itu juga? Allah membenci kita?
Sebagian dari kita berpikir “ya ampun, Allah pasti membenciku”. Lihat hidupku!
Allah pasti tidak menginginkanku. Terkadang kita berpikir Allah tidak menjawab
do’a kita. Begitulah keadaan Rasulullah ketika Allah befirman “wad-dhuha” “demi
waktu matahari sepenggalan naik”
Hal pertama yang diberitahukan
pada orang yang depresi “Bangunlah! Lihatlah cahaya mentari” Tidak semuanya
suram. Tidak semuanya menyedihkan. Ada matahari yang indah di sana, lihatlah
cahayanya. Hal pertama yang diingatkan dalam surah Ad-dhuha “fajar”. Lihatlah
fajar, hangatnya akan merengkuhmu. Cahayanya memberikanmu secerca harapan. Ia
seakan berbisik, wahai manusia ada awal yang baru untuk hari ini. Silahkan
gunakan hari ini sebaiknya. Lihatlah cahaya mentari bersamaku. Bersyukurlah
karena kau masih punya hari ini. Silahkan beramal sebaik-baiknya untuk suatu
hari dimana mungkin tak akan ada lagi cahaya mentari seperti hari ini.
Beranjaklah! Sebelum semua terlambat.
Sedangkan senja. Cerita apa yang
disediakan hangat senja untuk kita? Banyak orang akan terkesima melihat
ronanya. Menatapnya sembari menikmati harmoni alam yang mulai diselimuti
gelapnya malam memberikan ketenangan sendiri. Tak kalah dengan fajar, senja
juga menyimpan cerita tertentu, makna tertentu dalam setiap pergerakannya. Senja adalah awal sebelum kegelapan tiba. Kita
diingatkan akan akhir sesuatu melalui bahasa alam. Ada awal maka ada akhir. Itu
berlaku untuk ciptaan-Nya. Ada hidup, ada mati. Ada fajar dan ada senja sebagai
awal dan akhir siang. Sebelum senja, matahari bersinar terang hingga akhirnya
hilang ditelan kegelapan malam akibat perputaran bumi. Meskipun hanya sebentar,
bayangan senja yang indah akan melekat di benak orang yang melihatnya. Manusia
pun seperti itu. Sebelum kematian menjelang, manusia harus mempersiapkan
bekalnya. Ia harus lebih matang baik dalam iman maupun amal agar akhir yang
terbayang di matanya siap untuk dihadapi. Sebagaimana malam yang datang setelah
siang, begitu pula mati akan datang setelah hidup. Dan setelah itu, akan ada
kehidupan di hari kemudian. Maka, sebelum cahaya fajar tidak lagi terbayang
dalam pandangan mata, gunakan waktu yang ada untuk berbuat kebaikan. Sebelum
hangatnya senja tidak menyapamu kembali, gunakan waktu yang ada untuk
mempersiapkan bekal untuk perjalanan yang lebih jauh.
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa
Sallam berpesan kepada Ibnu Umar “Jadilah engaku di dunia ini seperti orang
asing atau musafir (orang bepergian)” Ibnu Umar Radiallahu ‘anhu berkata, “jika
engkau berada di waktu sore, janganlah menunggu pagi hari dan jika engkau
berada di pagi hari janganlah menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu
sebelum kamu sakit dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum kamu mati.” (HR.
Bukhari)
0 komentar:
Posting Komentar