WHAT'S NEW?
Loading...

Cara Bersyukur: menjadi akuntan yang handal dalam menghitung nikmat




Akuntan yang paling handal – mentari mendekap bumi dengan cahayanya yang masih hangat saat banyak orang berpakaian muslim memasuki halaman masjid. Dari luar masjid, tampak sederhana saja, hanya ada jalan raya yang ramai dengan ingar bingarnya. Setelah memasuki halaman masjid dan memarkir kendaraan, terasa jelas perbedaannya dengan suasana luar. Yah, di halaman masjid, ada banyak orang, sebut saja penuntut ilmu yang hilir mudik. Ada kesesejukan tersendiri saat melihat suasana seperti itu. Banyak wanita dengan jilbab panjang berjalan bergerombol menuju lantai dasar masjid. Aku mafhum, sebagian besar dari mereka pastilah orang-orang sholih yang rela menghabiskan waktu berliburnya dengan menghadiri taman-taman syurga, yaph.. sebut saja demikian, nama yang sering kudengar dari mutarobbi semasa SMA dulu. Taman-taman syurga beliau sematkan untuk menyebut sebuah majelis ilmu agama karena malaikat sedang berkumpul dan mendo’akan orang-orang yang menuntut ilmu serta menjadikannya sebuah majelis dengan penuh ketentraman dan kedamaian dimana hanya orang-orang tertentulah yang mampu datang dan meluangkan waktu untuk itu. Majelis ilmu yang aku ikuti kali ini adalah tablig akbar dengan tema “ketika ilmu tak seindah ahlak”

Di majelis ilmu ini, Jemaah laki-laki dan perempuan dipisahkan pada tempat yang berbebeda. Jemaah laki-laki menempati lantai dua sementara Jemaah perempuan menempati lantai dasar. Udstaz yang membawa acara kali ini adalah udstaz Oumar Mita, LC. Beliau berada di lantai 2 membawakan tausiah sementara para perempuan (baca akhwat) mendengarkan di lantai dasar dengan bantuan 2 buah layar yang mirip televisi. Acara pun dimulai oleh MC lalu mempersilahkan udztaz untuk menyampaikan tausiah. Beliau memulai dengan salam lalu membahas mengenai dua sifat manusia yakni: 1) suka menghitung-hitung musibah/ujian. Beliau lalu menyebut manusia sebagai akuntan akuntan yang paling handal untuk menghitung-hitung musibah, ujian atau hal buruk yang menimpanya dan selalu mengingat hal-hal tersebut. 2) suka melupakan nikmat Allah SWT.
Yah, memang benar manusia adalah akuntan yang paling handal dalam hal menghitung-hitung keburukan dan selalu mengingatnya sementara manusia selalu lupa akan hal-hal yang baik dan nikmat Allah SWT kepadanya, aku akui aku pun sering seperti itu.

Seketika, banyak hal-hal yang kuanggap buruk berkelebat dan menghaparkan tikarnya dalam pikiranku. Memang benar, hal-hal buruk itu selalu teringat dan selalu aku hitung sebagai hal yang tidak adil. Kejelekan orang lain, kata-kata buruknya, kelakuannya dan berbagai hal buruk yang orang lain pernah lakukan terhadapku. Aku selalu mengingatnya. Kalimat “manusia adalah akuntan yang paling handal dalam menghitung keburukan orang lain” seakan memberikan cambuk bagi apa yang selama ini kulakukan, akan apa yang selama ini selalu menghabiskan energi pikiranku dan berhasil merenggut rasa bahagia dariku karena satu hal itu, selalu berkubang dalam dendam, dalam ingatan tentang keburukan dan ketidakadilan orang lain. Maka kemudian sang udztaz seakan mengetuk palu untuk memberikan solusi akan kesalahanku dengan mengatakan “jadilah akuntan yang paling handal dalam menghitung nikmat Allah STW dan jadilah orang yang su’uzon kepada diri sendiri namun husnuzon kepada orang lain”

Ya, memang benar. Kita sering menganggap benar diri sendiri dan menghakimi orang lain dengan berbagai persangkaan buruk. Kita diibaratkan jeli melihat seekor semut di seberang nun jauh di sana namun tak mampu melihat gajah yang ada dihadapan kita. Tak mampu melihat kesalahan diri sendiri namun sangat jeli melihat kesalahan orang lain.


Jadilah akuntan yang paling handal untuk menghitung nikmat yang diberikan Allah Subhanahu wata’ala dengan memperbanyak rasa syukur atas apa yang diberikan-Nya. Menurut penelitian, rasa syukur dapat menambah kebahagiaan fisik dan mental. Kebiasaan hidup yang tidak disertai dengan rasa syukur akan membuat seseorang tidak bisa menikmati hidup ini dengan kebahagiaan. Kufur nikmat menjadi pembatas antara ia dengan kebahagiaannya. Kembali lagi kepada istilah ‘bahagia itu pilihan, bukan kesempatan’ maka pilihlah menjadi manusia yang bahagia dengan cara bersyukur atas apa yang kita miliki. Mengeluh karena ada masalah? Banyak orang di luar sana yang mungkin masalahnya jauh lebih besar daripada masalah yang kamu miliki. Mengeluh karena keluarga yang membuatmu marah atau teman yang membuatmu kesal? Pikirkanlah orang lain yang bahkan mungkin tidak punya siapa pun untuk dijadikan sandaran. Atau mungkin, tidak bersyukur karena bentuk fisik yang menurut kamu ‘kurang’ bagus? Itu adalah sesuatu yang bahkan tak pantas disebut masalah. Lihatlah mereka yang bahkan tidak memiliki fisik yang lengkap. Bahagia itu pilihan dan pilihlah menjadi orang yang bahagia dengan memperbanyak rasa syukur.
Lalu, bagaimana cara bersyukur dan menjadi orang yang bahagia?

1.    Selalu mengingat Allah
Cara pertama sekaligus yang paling mudah bagi seorang hamba untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala yaitu dengan senantiasa memuji Allah di dalam hatinya. Selalu mengingat Allah kapanpun dan dimanapun ia berada. Sejatinya, kita harus menyadari bahwa diri kita ini Allah yang menciptakan. Alam semesta nan indah, udara yang kita hirup, makan-makanan baik dari tumbuhan atau hewan, serta orang-orang disekitar kita yang sayang dengan kita, semua adalah nikmat dari Allah Subhanahu wa ta’aala. Oleh sebab itu, jagalah hati kita setiap detik untuk mengingat kebesaran-Nya.

2.    Mulailah bersyukur di pagi hari
Oke, ketika ingin menjadi bahagia, mulailah dengan memperbaiki pagi hari. Pagi yang baik akan menjadikan hari menjadi baik pula. Renungkanlah sejenak dan ucapkalah rasa syukur karena kamu masih diberikan tambahan satu hari lagi untuk bernapas. Mulailah harimu tanpa direcoki dengan daki-daki penyesalan akan hari kemarin yang berlebihan, karena harimu adalah hari ini, bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala keburukannya. Kita hanya perlu menjadikannya cermin untuk melangkah di hari ini dengan menjadikannya sebagai pelajaran dan tidak mengulanginya kembali.

3.    Sebisa mungkin menjauhi penyakit-penyakit hati
Seperti apa penyakit hati itu? Yaitu hal-hal yang bisa merusak hatimu seperti rasa iri, dengki dan tidak menerima apa yang dimiliki. Istilah ‘kehidupan orang lain jauh lebih indah’ dapat menjadi perusak jika terus menerus digaungkan dalam kehidupan kita. Ingatlah, taka da manusia yang sempurna begitu pula dengan kehidupannya. Masing-masing orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Mengapa kita tidak merubah kalimat tersebut dengan kalimat ‘hidupku tidak kalah indah’. Dengan begitu, kita tidak melulu memandang orang lain ‘jauh lebih beruntung’ karena bisa jadi mereka juga memiliki masalah, hanya saja mereka mampu menyembunyikannya. Cobalah memandang sesuatu tidak hanya dari satu sudut pandang.

4.    Meningkatkan ketaqwaan
Bersyukur tidak hanya dilakukan lewat hati dan lisan saja, namun hendaknya juga diwujudkan lewat perbuatan. Salah satunya dengan cara menjadi pribadi yang bertaqwa. Menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Misalnya dengan taat menjaga sholat lima waktu, melaksanakan zakar fitrah, membaca Al-quran, menjalani puasa ramadhan dan mejauhi hal-hal yang berbau maksiat dan tercela.

Demikianlah ulasan penulis tentang manusia sebagai akuntan yang paling handal dalam menghitung keburukan yang dapat dihindari atau diobati dengan pil syukur akan nikmat-nikmat yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala. Semoga apa yang penulis paparkan dapat membah khazanah kita semua dan bermanfaat untuk diamalkan dalam kehidupan. Ilmu akan menebarkan wanginya jika diamalkan. Mari berlomba dalam kebaikan!

Hakikat Kehidupan



“Hidup itu seperti UAP yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap!”

Kalimat tersebut saya kutip dari puisi terakhir WS Rendra. Yah, memang benar, hidup ini bisa diumpamakan seperti uap, dianugrahkan kepada setiap kita lalu lenyap layaknya sebuah titipan yang bisa diambil kapan saja oleh pemiliknya. Tapi, bukankah kita layak bertanya mengapa hidup itu ditipkan kepada kita?

Resiko memiliki adalah tidak memiliki. Resiko hidup adalah mati. Resiko berharap adalah kecewa. Setiap bagian yang menyenangkan dari hidup ini memiliki resiko. Ketika kita hidup maka resikonya adalah mati. Satu contoh yang dapat memberikan gambaran penuh tentang kehidupan itu adalah kematian.

Tak ada yang tahu kapan kematian merenggut kehidupan yang dimiliki dan ketika kematian itu tiba, maka tak ada yang dapat menghalaunya, tanpa pandang bulu menyapu bersih semua hak kita dalam kehidupan itu sendiri. Tak ada lagi desah nafas, tak ada lagi senyut jantung, mata tak dapat melihat, telinga tak dapat mendengar. Lalu, apa yang kita banggakan dalam hidup ini?

Hello guys, ingat bahwa semua ini hanyalah titipan. Berbangga-bangga terhadap apa yang kita miliki hanyalah menunjukan bahwa kita ini adalah peminjam yang tidak tahu diri – memalukan. tergenggam dan terlepas, seperti itulah kehidupan. Sebenarnya tak ada yang kita miliki, semuanya titipan.  sebentar saja kita menggenggam lalu jika saatnya tiba, kkehidupan itu akan terlepas dan diambil oleh Yang Maha Hidup. Lalu, mengapa tuhan menitipkan semua ini untuk kita? Jawabannya ada pada hati kita.

Hati adalah detektor terbaik dalam menemukan apa yang sebenarnya diinginkan kehidupan ini. Ketika kita melakukan sebuah kebaikan, apa yang dirasakan hati? Dan ketika kita melakukan keburukan, apa pula yang dikatakan hati kita? Yah, hati kita tentu akan merasa tenang, tentram, damai ketika kita melakukan sebuah kebaikan, dan sebaliknya akan merasa terpuruk, sedih dan galau ketika melakukan sebuah keburukan, seburuk apapun seseorang. Lalu kira-kira apa kaitannya dengan tujuan hidup ini? Pada dasarnya kita dititipkan kehidupan untuk sesuatu yang baik, yakni untuk mengemban tugas sebagai khalifah. Apa itu khalifah? Yakni orang yang mengadakan perbaikan di muka bumi. Kita dititipkan kehidupan ini untuk menjadikan hidup itu lebih baik. Ingat, resiko hidup adalah mati dan tak akan ada apa pun yang kita miliki setelah mati kecuali satu hal, yakni amal. Keluarga, sahabat dan harta kekayaan tidak akan ikut bersama kita. Semua itu hanya sebagai penghias hidup dan sebagai orang yang bijak, sebaiknya kita tidak memperlakukannya layaknya tuhan, seakan-akan hidup ini hanya untuk mengejar penghias-penghias kehidupan itu. Sadarlah!